Eddington Juga Menjelajahi Teori Konspirasi dan Konten Kreator Online
Eddington juga mengeksplorasi teori konspirasi serta para podcaster dan YouTuber yang menyebarkannya demi pengaruh dan keuntungan. Karakter Phoenix sering pulang ke rumah hanya mendengar suara tak jelas memuntahkan klaim tanpa dasar dari laptop yang terbengkalai. Kemudian, istrinya (Emma Stone) atau mertuanya (Deirdre O’Connell) akan mengulang teori-teori liar itu saat sarapan.
Sekali lagi, Aster membangun sudut gelap dunianya dari materi kehidupan nyata.
"Satu hal terinspirasi dari seseorang yang kudengar di jalanan New York dengan mikrofon," katanya. "Kutulis itu untuk nanti. Yang lain diambil dari sudut-sudut internet."
Tujuan utama Aster dengan Eddington adalah menyampaikan perasaan kewalahan berada di dunia online, sambil tetap menciptakan film yang menarik.
"Penting untuk memasukkan sebanyak mungkin suara dalam kekacauan ini dan mewakili beragam sisi internet—untuk membuat cerita koheren tentang kekisruhan yang kita hidupi," ujarnya. "Kuharap bisa menampilkan lebih, tapi kami lakukan semampunya tanpa mengganggu alur cerita."
AI Menciptakan "Era Ketidakpercayaan Total"
Meski Eddington terutama film tentang dampak media sosial, ada inovasi teknologi lain yang Aster sertakan: kecerdasan buatan. Film ini diawali rencana pembangunan pusat data pelatihan AI di pinggir kota, yang kemudian menjadi titik penting dalam cerita (termasuk dalam plot pemilu, di mana karakter Phoenix menentang kepentingan bisnis di balik fasilitas itu).
"Sebenarnya ini latar belakang," kata Aster, "tapi bagiku, ini jantung filmnya. Ini kisah tentang orang-orang yang melewati Covid, menghadapi krisis. Sementara itu, di luar kota, krisis lain sedang disiapkan."
Dalam wawancara terbaru dengan Letterboxd, sutradara ini menyatakan sudah "terlalu lambat" untuk menghentikan AI. Tapi ketika ditanya dampak positif dan negatifnya, Aster menggambarkannya dengan ketakutan sekaligus kekaguman.
"Aku kagum pada kemampuannya, tapi juga sangat terganggu," katanya. "Kita hidup di era ketidakpercayaan total. Gambar semacam ini bisa mengakhiri era bukti video atau audio."
Sebagai sutradara, ia khawatir seni yang mendalam akan "dihancurkan" oleh AI generatif, meski mengakui bahwa teknologi ini membuka industri film untuk lebih banyak orang. "Ini demokratisasi yang menarik," ujarnya. "Ada lebih banyak kemungkinan sekarang, tapi sesuatu juga hilang."
Dengan gaya khas Ari Aster—pikiran di balik visual paling mengganggu abad ini (dari pemenggalan tak terduga di Hereditary hingga monster kelamin di Beau Is Afraid)—ia justru merindukan era saat AI masih menghasilkan gambar aneh.
"Awalnya, saat sistem ini berhalusinasi dan menciptakan gambar-gambar aneh—12 jari, hal-hal absurd—itu lebih menarik bagiku," katanya. "Semakin halus hasilnya, semakin tidak seru dan semakin menakutkan."
Tentang Ending Itu…
Peringatan: Spoiler akhir film Eddington.
Meski kadang terasa seperti film Koboi ala Coen Brothers yang hiperaktif, Eddington tetap realistis selama hampir dua setengah jam—sampai akhir cerita. Setelah karakter Phoenix membunuh karakter Pascal dan menyalahkan demonstran BLM setempat, sekelompok teroris anti-fasis tiba-tiba datang dengan pesawat dan mulai meledakkan segalanya.