Iran, Nuklir, dan Refleksi Ketimpangan Global

Iran Nuklir dan Cermin Ketimpangan Global

Oleh: Eko Ernada
Pengajar dan Peneliti Kajian Timur Tengah, Universitas Jember

Pada Juli 2025, Iran secara resmi menghentikan kerjasama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Ini bukan cuma gerakan simbolis, tapi langkah yang menggoyang dasar sistem pengawasan nuklir global. Akses inspektur internasional dicabut, kamera pengawas dimatikan, dan kepercayaan yang sudah rapuh hancur. Dunia kaget, tapi Iran merasa tindakannya masuk akal: mengapa patuh pada sistem yang tak pernah melindunginya?

Langkah ini bukan muncul tiba-tiba. Ini adalah puncak rasa frustasi Iran terhadap tatanan global yang tidak adil dan pilih-pilih. Parlemen Iran bilang IAEA sudah kehilangan netralitas, jadi alat tekanan politik Barat. Kalau lembaga internasional tidak dipercaya oleh yang diawasinya, dan hukum hanya tajam ke satu pihak, maka krisis kepercayaan bukan cuma masalah satu negara—tapi menyangkut legitimasi seluruh sistem nonproliferasi global. Seperti kata Richard Falk, ahli hukum internasional, "sistem global kehilangan legitimasi saat hukum jadi alat seleksi, bukan perlindungan."

Situasi ini mengingatkan kembali pertanyaan penting: apakah Iran benar-benar ancaman bagi perdamaian dunia, atau cermin dari sistem internasional yang rusak dan penuh standar ganda? Jika verifikasi nuklir sudah tidak dipercaya, bagaimana diplomasi bisa jalan, dan atas dasar apa aturan internasional ditegakkan?

Untuk paham posisi Iran sekarang, kita harus lihat sejarahnya. Program nuklir Iran mulai tahun 1950-an di bawah Shah Mohammad Reza Pahlavi, didukung langsung oleh AS lewat program "Atoms for Peace." Saat itu Iran mau bangun puluhan reaktor nuklir. Tapi setelah Revolusi Islam 1979, hubungan dengan Barat hancur dan dicurigai sebagai ancaman ideologis. Dukungan berubah jadi kecurigaan.

Titik balik terjadi tahun 2002, ketika fasilitas rahasia di Natanz dan Arak terbongkar. Barat menuduh Iran sembunyikan program senjata nuklir, meski Iran bilang tujuannya damai: untuk energi dan medis. Tuduhan ini makin yakinkan Iran bahwa sistem global tidak netral. Apalagi Israel—yang tidak tanda tangani NPT dan punya senjata nuklir—tidak dapat tekanan serupa. Seperti kata Noam Chomsky, "standar ganda adalah norma diam dalam kebijakan luar negeri negara besar—apa yang legal untuk sekutu jadi ilegal bagi musuh."

MEMBACA  Pemerintahan Prabowo Telah 'On The Track'