Kisah ini awalnya muncul di Grist dan merupakan bagian dari kolaborasi Climate Desk.
Setiap beberapa tahun, perusahaan gig-ekonomi Silicon Valley mengumumkan inovasi “disruptif” yang ternyata mirip sekali dengan bis. Uber meluncurkan Smart Routes sepuluh tahun lalu, diikuti tak lama kemudian oleh Lyft Shuttle dari pesaing utamanya. Bahkan Elon Musk mencobanya pada 2018 dengan “urban loop system” yang tak pernah terwujud di luar Vegas Strip. Apakah ada yang masih ingat Chariot?
Sekarang giliran Uber lagi. Perusahaan ride-hailing baru-baru ini mengumumkan Route Share, di mana shuttle akan menempuh puluhan rute tetap, dengan pemberhentian tetap, menjemput dan menurunkan penumpang di waktu yang tetap. Di antara lelucon tak terhindarkan tentang Silicon Valley yang “menemukan” bis lagi, muncul pertanyaan serius tentang dampaknya pada sistem transit yang sudah kesusahan, kualitas udara, dan kemacetan.
Uber berjanji program ini, yang diluncurkan di tujuh kota akhir Mei lalu, akan menyediakan transportasi “lebih terjangkau, lebih terprediksi” selama jam sibuk.
“Banyak pengguna kita tinggal di area yang sama, bekerja di area yang sama, dan berangkat di waktu yang sama,” kata Sachin Kansal, kepala produk Uber, dalam pengumuman 14 Mei. “Konsep Route Share bukan hal baru,” akuinya—meski ia tak pernah menyebut kata “bis.” Sebagai gantinya, gambar kereta kuda, becak, dan andong muncul di layar.
CEO Dara Khosrowshahi lebih blak-blakan saat berkata ke The Verge bahwa ini “terinspirasi oleh bis”. Tujuannya, katanya, “adalah menurunkan harga untuk konsumen dan membantu mengurangi kemacetan serta dampak lingkungan.”
Tapi Kevin Shen, yang meneliti hal semacam ini di Union of Concerned Scientists, mempertanyakan apakah “bis generasi baru” Uber benar-benar bermanfaat bagi komuter atau iklim. “Semua orang akan bilang, ‘Silicon Valley menciptakan bis lagi,’” kata Shen. “Tapi ini lebih seperti mereka menciptakan bis yang lebih buruk.”
Lima tahun lalu, Union of Concerned Scientists merilis laporan yang menemukan layanan rideshare mengeluarkan 69% lebih banyak karbon dioksida dan polutan lain dibanding perjalanan yang mereka gantikan—terutama karena hingga 40% jarak tempuh pengemudi Uber dan Lyft dilakukan tanpa penumpang, disebut “deadheading.” Kerugian iklim ini berkurang dengan layanan berbagi seperti UberX Share—tapi tetap tak jauh lebih ramah lingkungan daripada memiliki dan mengemudi kendaraan pribadi, kecuali mobilnya listrik.
Di luar manfaat iklim yang belum pasti, ada kekhawatiran lebih besar tentang dampaknya pada sistem transit di New York, San Francisco, Chicago, Philadelphia, Dallas, Boston, dan Baltimore—serta orang-orang yang bergantung padanya.
“Transit adalah layanan publik, jadi tujuannya adalah melayani semua pelanggan, kaya atau miskin, apakah itu rute yang menguntungkan atau tidak,” kata Shen. Lembaga yang menjalankan ini punya mekanisme akuntabilitas—dewan, rapat publik, penumpang yang vokal—untuk memastikan mereka bekerja sebagaimana mestinya. “Hampir tak ada yang seperti itu di Uber.” Ini, katanya, adalah pergeseran ke model transit publik tanpa akuntabilitas publik.