Ketika Melihat Kembali Foto-Foto Masa Awal 20-an
Saat melihat foto-foto diri di awal usia 20-an, aku melihat seorang wanita muda yang percaya diri, siap membicarakan apapun dengan siapapun. Tapi di balik pintu tertutup, aku menyembunyikan rasa malu rahasia yang sangat bertolak belakang dengan citra publikku. Aku tidak bisa orgasme—baik dengan pasangan maupun sendiri.
Selama bertahun-tahun, ada beberapa upaya singkat untuk "menghidupkan mesin lama". Aku pikir aku bisa memikirkan jalan menuju klimaks: internet, dengan segala sumber daya berupa thread Reddit, forum, dan video YouTube, sepertinya jadi solusi. Aku mencari informasi online, mulai dari cerita emosional (narasi orang lain yang mengalami hal serupa) hingga hal praktis (sex toys dan tutorial). Tak ada yang membantu. Justru, semua pengetahuan yang terkumpul malah membuatku merasa lebih buruk. Di usia 25 tahun, akhirnya aku harus melepaskan segalanya dan benar-benar menjauhkan hasrat seksual dari dunia online untuk pertama kalinya.
Gagal Mencapai Klimaks
Ada satu adegan dalam naskah legendaris The Vagina Monologues karya Eve Ensler di mana penonton mendengar kisah seorang wanita yang baru orgasme di usia 72 tahun. "Saat akhirnya menemukan klitorisnya, ia bilang ia menangis," begitu pengantar ceritanya. Aku ingat mendengar kata-kata itu di usia 18 dan merasa ada pengakuan yang samar. Lalu muncul rasa takut: Ya Tuhan, tolong biarkan aku mengalaminya sebelum usia 70.
Di usia itu, ketidakmampuan orgasme belum terlalu mengejutkanku. Aku sudah baca cukup majalah remaja, nonton Sex and the City untuk tahu soal kesenjangan orgasme, bahwa 61% pria orgasme setiap berhubungan seks, dibanding 30% wanita. Berbagai studi menemukan bahwa wanita lebih mungkin orgasme saat masturbasi dibanding hubungan seks; temuan konsisten lain menyebutkan 10% wanita tidak pernah orgasme dalam kondisi apapun.
Tapi seiring berjalannya usia 20-an dan kegagalanku mengatasi masalah ini, aku sadar teman-teman yang dulu berbagi pengalaman serupa sudah tidak kesulitan lagi. Aku merasa seperti anomali.
Sebagai seorang feminis muda yang blak-blakan, aku juga belajar secara tidak resmi dari YouTuber edukasi seks seperti Shan Boodram, Laci Green, dan Hannah Witton. Mereka mengajarkan pentingnya mengenal tubuh sendiri dan berani memberi tahu pasangan jika mereka tidak memuaskan. Aku menyebarkan pesan itu. Kenikmatan perempuan adalah "brand"-ku, sampai seorang teman pria memberiku kaos bertuliskan "The Future is Female (Ejaculation)" sebagai kado Natal. Aku tertawa, lalu menangis di kamar mandi, penuh malu karena ketidaksesuaian antara kepercayaan diriku di luar dan ketidakmampuan di dalam.
Secara teori, aku tahu segalanya tentang orgasme—kecuali cara mengalaminya sendiri. Hanya sedikit orang yang tahu soal perjuanganku dengan anorgasmia (ketidakmampuan orgasme meski ada stimulasi). Aku takut mengucapkan "Aku tidak bisa orgasme", atau merasa lebih gagal jika orang menanyakan perkembanganku dan jawabanku tetap "Tidak, tetap tidak bisa".
Seperti ditulis Emily Nagoski dalam Come As You Are, orgasme wanita sangat dipengaruhi pikiran. Nagoski berteori bahwa kenikmatan seksual wanita punya dua kontrol—akselerator yang membangkitkan dan rem yang mematikan—dan butuh keseimbangan untuk orgasme. Tapi remku terlalu sensitif karena rasa takut, panik, dan malu, membuat orgasme hampir mustahil. (Tentu, ini mudah disadari setelah tiga tahun berlalu.)
Sex toys terasa seperti titik awal (astaga, aku harus menyentuh diri sendiri?), dan budget mahasiswa yang terbatas membuatku ingin vibrator yang "worth it". Aku habiskan berjam-jam membaca review dengan kata kunci "tidak bisa orgasme" atau "jarang orgasme", berharap stimulator klitoris atau CBD lube bisa membantuku. Saat gagal, frustrasiku semakin dalam.
Yang kucari adalah pengakuan—perasaan "Oh, aku tidak sendirian"—yang teman-teman, meski berempati, tak bisa berikan. (Tapi sekarang, ketika kusebutkan bahwa aku baru orgasme di usia 25, banyak yang berbagi cerita serupa.) Jadi, aku mencari lebih jauh, menjelajahi forum dan artikel online untuk kisah orang-orang yang juga belum bisa orgasme. Momen-momen pengertian itu membuatku merasa tidak sendirian, meski tak selalu membaik.
Pendekatan selanjutnya lebih tak biasa. Dua teman memberiku langganan OMGYes, situs edukasi seks dewasa untuk kenikmatan perempuan. Awalnya aku malu, tapi kucoba. Keanggotaan memberi akses ke tutorial praktis (dan sangat NSFW) tentang teknik masturbasi. Aku coba ikuti, tapi kurang konsisten dan cepat menyerah saat tidak langsung berhasil.
Di setiap tahap, upayaku terhambat rasa malu dan ketidakmampuan, serta takut merasa lebih gagal jika mencoba dan tidak berhasil. Aku sadar aku melewatkan bagian penting pengalaman manusia, tapi begitu pikiran "Kau akan meninggal tanpa pernah orgasme" muncul, sulit diusir.
Untuk menghentikan spiral nihilistik ini, aku berhenti mencoba. Tidak semuanya buruk. Seks, baik dengan pasangan jangka panjang maupun kasual, seringkali menyenangkan. Kadang aku pura-pura orgasme, kadang tidak—biasanya saat tidak ingin menjelaskan atau memberi alasan mereka untuk tidak berusaha.
Masalah ini terus mengendap di bawah permukaan, tidak jadi prioritas. Seperti banyak hal, COVID-19 mengubah segalanya. Di usia 25, menghadapi tahun baru dan lockdown ketiga di Inggris, aku berpikir: Jika tidak sekarang, kapan? Rasa malu dan kegagalan jelas menghalangiku.
Jika ingin tahu cara orgasme, satu-satunya jalan adalah menghilangkan ekspektasi—yang datang dari bantuan internet yang kucari. Aku harus melepaskan ketergantungan teknologi dan melakukan hal paling sederhana yang kutakuti: menyentuh diriku sendiri, secara konsisten.
Apa yang Akhirnya Membantuku Orgasme
Aku memberikan tantangan pada diri sendiri. Setiap hari, aku meletakkan ponsel di seberang ruangan dan masturbasi tanpa sex toys. Awalnya terasa sangat asing; sampai aku sadar bahwa pasangan seksual lebih sering menyentuh alat kelaminku daripada diriku sendiri. Begitu terbiasa dengan sensasi meluangkan waktu tanpa mempercepat proses dengan vibrator, rasanya menyenangkan. Sesuatu mulai terjadi, meski bukan ledakan dahsyat seperti yang digambarkan masyarakat. Aku pikir ini bukan orgasme, dan sempat kembali ke forum untuk bertanya. Tak ada yang cocok, tapi aku lanjutkan.
Percakapan dengan seorang teman dokter yang membuat perbedaan besar. Kuceritakan kondisiku, bahwa aku tidak yakin apakah ini orgasme atau bukan. "Jika kau merasa itu orgasme, maka itu orgasme," katanya. Untuk pertama kali, seseorang mengatakan bahwa aku di jalan yang benar.
Tanpa berlebihan (meski teman itu masih tertawa karena kusebut dia penyebab orgasm pertamaku), kata-katanya memicu perubahan di otakku. Begitu aku berhenti merasa bodoh karena berjuang melawan sesuatu yang kupikir mustahil, orgasme—yang sebenarnya—datang. Aku tidak menangis atau langsung memberi tahu teman-teman. Aku senang, tapi ini pencapaian pribadi yang ingin kunikmati sendiri.
Perasaan terbesarnya adalah kelegaan, seperti beban berat terangkat. Aku berpikir, jika tidak pernah orgasme lagi pun, aku sudah bahagia. Tapi karena sekarang lebih mudah, kecil kemungkinan itu terjadi. Butuh waktu sampai aku bisa orgasme dengan orang lain, tapi sebelum itu pun, kehidupan seksualku membaik. Aku tidak merasa kurang lagi.
Satu hal yang sekarang kuketahui: orgasme tak bisa dipikirkan apalagi dibeli. Produk dan sumber daya internet mungkin membantu, tapi pengetahuan yang menumpuk justru memperburuk perasaan gagalku. Aku harus menghilangkan semuanya dan melakukan hal yang paling kutakuti: menghadapi tubuhku sendiri.
Ironis memang menulis narasi "Bagaimana Akhirnya Aku Bisa Orgasme". Tapi aku tahu cerita sepertiku—asal tidak dibandingkan—akan membantu diriku yang dulu. Itu sebabnya aku jarang menulis aspek pribadi, kecuali pengalaman ini. Sedikit sekali cerita tentang ketidakmampuan total untuk orgasme. Jika kau membaca ini dan melihat dirimu dalam ceritaku, kuharap ini bisa memberimu harapan. Kau bisa mengalaminya—aku yakin—baik di usia 25 maupun 72. Kau akan sampai.