Di masa-masa tergelap Perang Dunia II, Anne Frank dan keluarganya bersembunyi di loteng rahasia di Amsterdam untuk menghindari kekejaman persekusi Nazi. Buku hariannya yang diterbitkan setelah kematiannya memberikan gambaran menyayat hati tentang ketakutan dan trauma yang dialami keluarga Yahudi saat itu.
Kini, kisah yang tragisnya mirip terulang di Palestina. Kali ini, anak-anak seperti Anne Frank—ratusan ribu mereka—menghadapi kematian akibat kelaparan dan pemboman tanpa henti oleh pemerintah Israel. Mereka bahkan tak punya loteng untuk bersembunyi; bangunan di sekitarnya telah rata dengan tanah oleh serangan Israel yang sembrono.
Delapan dekade setelah Holocaust, genosida lain terjadi—kali ini dengan anak-anak Palestina sebagai korban sekaligus saksi pembersihan etnis. Setiap anak membawa kisah pilu yang perlu didengar dunia. Suatu hari, kita mungkin membaca catatan mereka dalam memoar—jika mereka bertahan hidup cukup lama untuk menulisnya. Tapi komunitas internasional tak boleh menunggu sampai saat itu. Mereka harus menghentikan penderitaan anak-anak ini sekarang. Itulah mengapa kami memberi anak-anak di Gaza kesempatan untuk menanyakan satu pertanyaan pedih pada dunia: “Kenapa kalian diam?”—melalui film dokumenter yang menjadi salah satu upaya terbanyak dibagikan di Turki untuk mengungkap kekejaman kampanye genosida Israel di Gaza.
Banyak negara Barat kehilangan otoritas moral dan wacana hegemoninya dengan menjadi kaki tangan—atau pendukung—genosida. Lebih tragis lagi, sebagian berusaha membenarkan posisi mereka dengan mengacu pada genosida yang mereka lakukan sendiri delapan dekade lalu. Mereka yang pernah berdiri di sisi salah sejarah—melakukan kejahatan kemanusiaan—kini pura-pura tidak melihat kehancuran nyaris total suatu bangsa lain. Rasa bersalah atas kekejaman masa lalu tak bisa ditebus dengan menjadi komplotan dalam kekejaman baru. Hati nurani tak bisa dibersihkan dengan memilih aib baru untuk menutupi noda lama. Jika kata-kata “tak boleh terulang” ingin punya makna, ia harus berlaku bukan hanya untuk korban masa lalu—tapi juga korban hari ini.
Beberapa hari setelah Israel melancarkan serangan militer ke Gaza pada Oktober 2023, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan secara terbuka mengecam operasi tersebut sebagai tindakan genosida. Dalam bulan-bulan berikutnya, Turki mengambil langkah nyata untuk menentang kampanye brutal Israel dan menghentikan bencana yang terjadi di Gaza.
Pemerintah dan rakyat Turki konsisten menentang genosida. Presiden Erdogan menolak menjadi penonton pasif sejarah; sebaliknya, ia memilih berdiri di garda terdepan suara hati nurani umat manusia.
Ini telah menjadi posisi Turki selama puluhan tahun.
Selama Holocaust, diplomat Turki seperti Necdet Kent dan Selahattin Ülkümen mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan Yahudi dari deportasi Nazi. Dekade kemudian, saat genosida Bosnia, Turki kembali mendesak komunitas internasional bertindak. Dalam 20 tahun terakhir, di mana pun penderitaan manusia muncul—dari zona perang hingga area bencana—Turki bertindak melindungi yang lemah dan membela hak tertindas di tengah krisis kemanusiaan.
Turki merespons serangan sembrono Israel dengan tindakan kemanusiaan dan diplomatik tegas—meski dengan biaya politik dan ekonomi besar. Mereka memutus hubungan dagang dengan Israel dan memimpin upaya di PBB untuk mendorong embargo senjata dan perdagangan internasional. Hubungan diplomatik diputus, dan pejabat Israel dilarang memasuki wilayah udara Turki, menggagalkan upaya normalisasi genosida. Sementara banyak pemerintah ragu-ragu atau hanya keluarkan pernyataan, Turki bertindak—mengirim bantuan untuk anak-anak yang terpaksa minum air terkontaminasi, ibu-ibu yang mencari perlindungan di reruntuhan, dan keluarga yang meratapi orang tercinta tanpa kuburan untuk memakamkan mereka.
Dengan bergabung dalam kasus di Mahkamah Internasional (ICJ), Turki berdiri teguh untuk hukum dan keadilan internasional—prinsip yang banyak negara kuat sebut secara teori tapi tinggalkan saat tak nyaman. Pemerintah Barat yang pernah bersumpah “tak boleh terulang” kini berjalan jinjit di sekitar genosida, lumpuh oleh takut menyinggung Israel, bahkan saat anak-anak mati di bawah langit runtuh. Ini bukan sekadar ketidakpedulian. Ini pengkhianatan sejarah.
Dukungan utama atas keheningan dan keterlibatan Barat dalam genosida Gaza adalah kampanye disinformasi intensif Israel. Atas arahan Presiden Erdogan, Direktorat Komunikasi Turki bekerja keras menembus kebisingan ini. Pusat Penanggulangan Disinformasi Direktorat, antara lain, meluncurkan platform inovatif The Lies of Israel, yang melawan narasi palsu dalam enam bahasa. Ini baru langkah awal—membersihkan ruang bagi kebenaran dan membangun tekanan untuk perubahan berarti.
Lebih berbahaya, Israel semakin tak merasa perlu menyamarkan tindakannya di balik misinformasi. Mereka mengeksploitasi ketidakpekaan sebagian besar komunitas internasional terhadap kekerasan yang terjadi. Dengan menyebut warga Gaza sebagai “anak-anak kegelapan,” politisi Israel berusaha melegitimasi genosida terhadap mereka. Upaya menormalisasi ketidakmanusiaan ini ditolak tegas oleh direktorat dan rakyat Turki. Turki menantang bukan hanya distorsi mesin propaganda Israel tapi juga kerusakan lebih dalam hati nurani global. Pekerjaan direktorat adalah bentuk perlawanan—bukan hanya melawan kebohongan, tapi melawan tatanan dunia di mana ketidakpedulian menjadi respons default terhadap kekejaman.
Strategi pesan canggih yang digunakan Direktorat Komunikasi—menggabungkan media tradisional dan digital—telah membawa realitas penggunaan kekuatan tidak proporsional Israel dan penderitaan warga sipil Palestina ke perhatian dunia. Ini memperkuat upaya terus-menerus Presiden Erdogan mendesak pemerintah Barat dan publik luas untuk menjalani nilai-nilai yang mereka klaim sendiri.
Selaras dengan respons diplomatik Turki, direktorat memastikan media sosial dan platform online lainnya—tempat kebanyakan orang kini mengonsumsi berita—tak bisa dijadikan kaki tangan genosida. Mereka melakukannya dengan memproduksi beragam materi budaya, termasuk buku, film, pameran, dan acara publik lain. Pertemuan ini bukan hanya untuk bersaksi; mereka jadi pengingat tanggung jawab moral yang jatuh pada kita semua. Contoh menonjol Turki menempatkan kebenaran demi keadilan adalah kompilasi dan penyebaran sebuah buku yang mendokumentasikan bukti kejahatan Israel—upaya yang terbukti penting mendukung kasus di Mahkamah Internasional.
Turki meyakini era paradigma usang—yang mengutamakan kepentingan sempit kekuatan hegemonik—telah berakhir. Tatanan internasional baru harus dibangun dengan dasar menjunjung hak dan martabat semua orang, terutama yang tak berdaya. Untuk ini, Direktorat Komunikasi memperkuat suara korban Palestina, terutama anak-anak, memberi mereka panggung untuk berbicara jujur di forum internasional dan mengekspresikan diri lewat inisiatif budaya seperti pameran Bulletproof Dreams di Istanbul.
Kepemimpinan moral Turki yang konsisten dan dini soal Gaza telah menjaga krisis tetap dalam agenda global dan membantu membentuk kesadaran internasional—menciptakan kondisi di mana pemimpin Barat mulai mengambil langkah ragu-ragu dari keheningan berkepanjangan mereka. Setelah berbulan-bulan tak bertindak, Inggris, Prancis, dan Kanada kini menyerukan Israel untuk “menghentikan operasi militernya di Gaza,” memfasilitasi bantuan kemanusiaan ke jalur itu, dan berjanji “tindakan konkret” jika Israel tak patuh. Inggris sejak itu menunda negosiasi dagang dengan Israel, memberlakukan sanksi pada pemukim keras di Tepi Barat, dan mengeluarkan kutukan terkuatnya terhadap tindakan Israel yang “tak bisa dibenarkan secara moral” dan ancaman publik “monstruos” untuk membersihkan Gaza secara etnis.
Perubahan nada dari pemerintah Barat ini disambut baik, meski terbatas dan sudah terlambat lama. Perubahan retorika harus diikuti tindakan nyata dan pergeseran kebijakan mendasar—jika tidak, ia akan tetap kosong. Waktu untuk diplomasi penakut telah lama berlalu. Yang dibutuhkan sekarang adalah koalisi nurani: negara-negara yang cukup berani menyelaraskan nilai mereka dengan tindakan tegas, dan pemimpin yang siap menukar kenyamanan dengan keberanian. Keadilan tak akan datang sendirian; ia harus diantarkan oleh mereka yang cukup berani memimpin.
Jika mereka gagal, mereka harus pahami bahwa jutaan anak—mereka yang bertanya, “Kenapa kalian diam?”—akan terus meminta pertanggungjawaban. Setiap hari penundaan menghadapi pemerintah genosida Israel membawa kejahatan lebih lanjut pada warga Palestina: lebih banyak nyawa hilang di Gaza, lebih banyak rumah dibakar di Tepi Barat. Kegagalan ini tak hanya memperdalam penderitaan Palestina tapi juga merugikan besar rakyat Israel, banyak yang merindukan kepemimpinan baru yang adil.
Jalan ke depan telah jelas ditunjukkan Turki. Pada tahap ini, sekadar menarik dukungan untuk Israel tak lagi cukup. Yang dibutuhkan adalah inisiatif terkoordinasi, dipimpin nurani, oleh negara-negara sekutu untuk mengubah momentum pengakuan Palestina menjadi realitas dua negara yang