Jakarta (ANTARA) – Inisiatif pemerintah Indonesia membentuk 80 ribu Koperasi Desa Merah Putih telah memicu perdebatan sengit di masyarakat.
Menurut pemerintah, program ini bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi dan memberdayakan masyarakat desa. Namun, beberapa pihak khawatir langkah ini, jika tidak dikelola hati-hati, bisa jadi ancaman baru bagi ekonomi desa.
Presiden Prabowo Subianto sering menekankan pentingnya kemandirian pangan, kedaulatan ekonomi desa, dan gotong royong. Tapi, apakah rencana koperasi desa benar-benar bisa mewujudkan kemandirian ini?
Di bawah kepemimpinan Prabowo, pemerintah menargetkan pembentukan 80 ribu Koperasi Desa Merah Putih di seluruh Indonesia. Koperasi ini akan diluncurkan pada 12 Juli 2025, bertepatan dengan Hari Koperasi Nasional, dan ditargetkan beroperasi pada 28 Oktober.
Total anggaran yang dibutuhkan untuk membentuk koperasi ini diperkirakan mencapai Rp400 triliun (sekitar US$24,5 miliar).
Untuk modal awal, koperasi bisa mendapatkan pinjaman dari bank BUMN. Pemerintah menetapkan plafon pinjaman maksimal Rp3 miliar (sekitar US$184.116) per unit koperasi. Setiap koperasi wajib mengangsur pinjaman dalam jangka waktu enam tahun.
Peluang dan Tantangan
Kementerian Koperasi mengidentifikasi setidaknya delapan tantangan pembentukan koperasi desa:
- Partisipasi dan kesadaran masyarakat tentang koperasi masih rendah, terlihat dari jumlah anggota yang minim.
- Persepsi negatif masyarakat terhadap koperasi karena kasus koperasi bermasalah dan pinjaman online ilegal yang mengatasnamakan koperasi.
- Minimnya adaptasi teknologi di koperasi.
- Perbedaan skala ekonomi dan potensi antar-desa.
- Ketimpangan kapasitas SDM di berbagai desa.
- Potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam pembentukan dan pengelolaan koperasi desa.
- Risiko kecurangan akibat manajemen tidak profesional.
- Masalah keberlanjutan usaha dan kelembagaan koperasi.
Salah satu isu yang jadi sorotan adalah skema pembiayaan koperasi yang berpotensi disalahgunakan jika tidak dikelola profesional.
Pembiayaan Rp3 miliar per desa mencerminkan kepercayaan tinggi pada potensi desa. Namun, banyak pihak khawatir model ini bisa menambah kredit macet (NPL) bank. Selain itu, rencana penggunaan dana desa sebagai jaminan pinjaman juga mengundang kekhawatiran.
Ada kekhawatiran skema ini bisa membebani keuangan desa dalam jangka panjang. Apalagi, penggunaan dana desa—yang seharusnya untuk pembangunan—sebagai jaminan bisa menghambat pembangunan jalan, jembatan, sekolah, dan infrastruktur penting lain.
Menanggapi ini, Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi mengatakan sistem berbasis teknologi akan diterapkan untuk mengurangi risiko kerugian atau kecurangan. Kementeriannya akan fokus pada peningkatan SDM, sistem manajemen, dan kelembagaan koperasi.
Rencana koperasi desa menjual sembako, LPG, dan pupuk juga dikhawatirkan mengganggu ekosistem UMKM yang sudah ada di desa. Banyak pihak cemas nasib warung kecil—yang jadi tulang punggung ekonomi keluarga desa—jika harus bersaing dengan koperasi yang punya modal dan akses lebih besar.
Kementerian Koperasi memastikan koperasi desa tidak akan merugikan BUMDes atau UMKM, melainkan memperkuat mereka sebagai mitra kerja membangun ekonomi desa.
Mengenai risiko nepotisme dan korupsi—khususnya karena kepala desa otomatis jadi ketua badan pengawas koperasi—Menteri Setiadi menegaskan pihaknya melarang keluarga kepala desa jadi pengurus koperasi.
Meski banyak tantangan, Koperasi Desa Merah Putih berpotensi untung besar—asalkan dikelola dengan baik dan profesional. Menurut perkiraan Menteri, tiap koperasi bisa untung hingga Rp1 miliar per tahun dengan memangkas peran tengkulak dan meningkatkan efisiensi distribusi subsidi.
Namun, tanpa pengawasan ketat dan sistem akuntabilitas transparan, risiko penyalahgunaan dana dan korupsi tetap tinggi. Pemerintah juga perlu prioritaskan kualitas dibanding kuantitas, bukan sekadar mengejar target 80 ribu koperasi tanpa persiapan memadai.
Pada akhirnya, koperasi harus lahir dari kesadaran dan kesiapan desa agar bisa berkelanjutan dan mencapai tujuan utama: kemandirian ekonomi desa. Tanpa langkah nyata, koperasi ini hanya akan jadi ilusi dan risiko baru yang merugikan desa serta masyarakatnya.
Editor: Rahmad Nasution
Hak Cipta © ANTARA 2025