Pemerintah Mengundang Investor untuk Membangun Pabrik LPG untuk Mengurangi Impor

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia telah mengundang investor dan pengusaha untuk mendirikan pabrik gas petroleum cair (LPG) di Indonesia untuk membantu menurunkan impor minyak dan gas nasional. Investor yang tertarik akan memiliki opsi untuk mengajukan pembiayaan melalui bank milik negara PT Bank Mandiri dan segera menjalin kerja sama dengan perusahaan energi milik negara PT Pertamina, yang telah ditugaskan untuk menyediakan dan mendistribusikan LPG ke masyarakat.

“Panggilan kepada semua investor yang bersedia, silakan membangun pabrik LPG. Dengan pembiayaan dari Bank Mandiri, ini adalah pasar yang sangat menarik karena langsung dikontrak dengan Pertamina,” kata menteri tersebut dalam Forum Investasi Mandiri 2025 di Jakarta pada hari Selasa.

Pada tahun 2024, produksi LPG nasional hanya mencapai 1,97 juta ton metrik (MT), sementara konsumsi LPG mencapai 8,23 MT untuk LPG bersubsidi dan 0,67 juta untuk LPG non-subsidi. Untuk menyusun kesenjangan ini, Indonesia harus mengimpor 6,91 juta MT LPG tahun lalu.

Pemerintah sedang membangun fasilitas jaringan gas nasional untuk memperluas pasokan gas domestik dan memenuhi kebutuhan di Jawa dan Sumatra.

“Untuk menutupi pasokan gas dari Sumatera, dari Jawa Timur, kami sedang membangun pipa gas sebagai ‘tol jalan’ untuk memenuhi kebutuhan di Sumatera dan Jawa,” informasi Lahadalia.

Dia juga mengungkapkan bahwa produksi minyak Indonesia telah mengalami penurunan signifikan hingga mencapai 500–600 ribu barel per hari. Angka tersebut tidak seimbang dengan kebutuhan minyak nasional atau konsumsi sekitar 1,5 hingga 1,6 juta barel per hari.

Pada tahun 2024, produksi minyak nasional tercatat sebesar 212 juta barel, namun impor mencapai 313 juta barel, terdiri dari 112 juta barel minyak mentah dan 201 juta barel bahan bakar.

MEMBACA  Massimiliano Allegri Kecewa Setelah Juventus Kembali dari Kunjungan ke Markas Napoli Tanpa Hasil

Tahun lalu, konsumsi bahan bakar nasional tercatat sebesar 532 juta barel, dengan sektor transportasi menyumbang 52 persen dari konsumsi tersebut.

“Mata uang asing Indonesia harus kehilangan lebih dari Rp500 triliun karena impor minyak, dan ini juga mungkin menjadi salah satu faktor mengapa nilai tukar rupiah terhadap dolar melemah,” ujar Lahadalia.

“Inilah hukum penawaran dan permintaan; jika kita membutuhkan banyak dolar, maka nilai tukar kita akan dikoreksi. Bayangkan, lebih dari Rp500 triliun per tahun, neraca perdagangan kita dikoreksi, (serta) neraca pembayaran dan devisa negara,” tambahnya. (US$1 = Rp16.350).

Tinggalkan komentar