Memuat…
Warga Jaga Suara, sebuah platform yang bertujuan untuk mengawasi dan melaporkan kegiatan pemilihan umum (pemilu), menerima laporan terkait penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi Suara (Sirekap) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Koordinator Nasional Warga Jaga Suara, Hendra Wijaya, menjelaskan bahwa pengaduan yang diterima berkaitan dengan kesulitan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam mengakses Sirekap KPU. Hendra menegaskan bahwa aplikasi Sirekap, yang menghabiskan biaya pengembangan yang tidak sedikit dan dilengkapi dengan server canggih, seharusnya dapat menyelesaikan masalah teknis seperti login.
“Akibat dari KPPS tidak bisa mengakses, maka data foto hasil Form C tidak dapat diunggah ke dalam aplikasi tersebut. Akhirnya, foto atau dokumen tersebut harus diserahkan kepada PPS kelurahan/desa, yang kemudian akan diunggah melalui akun PPS,” ujar Hendra saat dihubungi pada Jumat (16/2/2024).
Meskipun demikian, Hendra merasa bahwa pengawasan dari masyarakat sangat diperlukan. “Hal ini bertujuan agar apa yang diunggah oleh PPS tetap sesuai dengan hasil yang terjadi di lapangan,” kata Hendra.
Tidak hanya masalah akses yang sulit, Warga Jaga Suara juga menerima pengaduan terkait ketidaksesuaian data antara hasil suara pada Form C1 dengan yang ditampilkan dalam sistem Sirekap. Oleh karena itu, Hendra menduga bahwa terjadi penggelembungan suara dalam data yang ditampilkan dalam Sirekap.
“Para KPPS yang dapat mengakses aplikasi ini mengirimkan foto hasil Form C Plano. Konon, aplikasi Sirekap ini telah menggunakan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk membaca dokumen OCR/OMR. Namun, saat di lapangan, hasil foto tidak sesuai dengan apa yang tertulis,” tutur Hendra.
“Misalnya, suara yang tercatat dalam Form C plano kemudian diunggah ke dalam website, angka tersebut berubah. Data suara yang diperoleh mengalami penggelembungan angka untuk semua paslon, ini menjadi masalah serius,” tambahnya.
Hendra menjelaskan bahwa dashboard total suara menampilkan jumlah yang salah sejak awal. Hal ini membuatnya merasa bahwa hasil perhitungan tersebut akan memberikan interpretasi yang menyesatkan.
“Fitur progres yang ditampilkan dalam dashboard ini menimbulkan penafsiran yang salah. Misalnya, progres data Jawa Barat mencapai 40%, jika dilihat dari jumlah penduduk Jabar yang mencapai lebih dari 35 juta, 40% dari 35 juta adalah 14 juta penduduk. Namun, jika dihitung secara manual, jumlah tersebut belum mencapai 5 juta,” jelas Hendra.
Meskipun demikian, Hendra menyarankan KPU untuk segera memperbaiki Sirekap. “Perbaiki sistem yang sedang terjadi saat ini dengan segera dan sungguh-sungguh,” tandasnya.
(kri)