Setelah Pemilihan Umum pada 14 Februari 2024, Indonesia dijadwalkan untuk mengadakan Pemilihan Kepala Daerah pada 27 November di seluruh wilayah, kecuali Yogyakarta dan kota/kabupaten Jakarta. Pemilihan ini akan dilakukan di berbagai daerah, mulai dari perkotaan hingga daerah perbatasan, dengan harapan memilih pemimpin baru yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di setiap wilayah.
Salah satu indikator keberhasilan demokrasi adalah partisipasi masyarakat dalam pemilihan. Oleh karena itu, akses politik, informasi, telekomunikasi, sumber daya manusia, serta aksesibilitas infrastruktur dan transportasi juga menentukan peningkatan partisipasi politik suatu komunitas.
Terbatasnya akses menjadi tantangan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat di daerah yang masih terbelakang, perbatasan, dan terluar, yang dikenal sebagai daerah 3T. Selama Pemilu pada Februari, partisipasi pemilih tercatat sebesar 81 persen, melampaui target 79,5 persen yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020–2024.
Secara nasional, partisipasi politik masyarakat cukup tinggi. Namun, daerah 3T memerlukan perhatian khusus untuk meningkatkan partisipasi penduduk setidaknya mencapai target yang ditetapkan pemerintah dalam RPJMN.
Ada beberapa daerah terbelakang di mana partisipasi politik masyarakat masih rendah, termasuk kabupaten Belu (60 persen) dan kabupaten Kupang (70 persen). Menurut Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Terbelakang untuk 2020–2024, ada 62 kabupaten yang dikategorikan sebagai daerah terbelakang.
Daerah-daerah tersebut terdiri dari 4 kabupaten di Sumatera Utara, 13 kabupaten di Nusa Tenggara Timur, 3 kabupaten di Sulawesi Tengah, 6 kabupaten di Maluku, 2 kabupaten di Maluku Utara, 8 kabupaten di Papua Barat, 22 kabupaten di Papua, dan masing-masing 1 kabupaten di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat.
Daerah terbelakang ini menghadapi keterbatasan dalam aspek ekonomi, sosial, infrastruktur, layanan kesehatan, dan pendidikan. Daerah perbatasan berada di garis depan pertahanan negara. Daerah-daerah tersebut biasanya langsung berbatasan dengan negara lain dan memiliki peran strategis dalam menjaga kedaulatan negara.
Selain itu, daerah terluar terletak jauh dari pusat pemerintahan dan memiliki aksesibilitas yang terbatas. Demokrasi adalah salah satu instrumen politik kesejahteraan sosial. Mempertahankan demokrasi juga berarti membangun kesejahteraan sosial secara berkelanjutan.
Membangun demokrasi di daerah 3T tidaklah mudah karena tantangannya besar, dan tugas tersebut memerlukan proses dan kesabaran. Implementasi Pemilu harus dijadikan pelajaran untuk Pemilihan Kepala Daerah.
Penyelenggara harus belajar dari masalah umum dan hambatan yang muncul dalam pemilihan Februari di daerah 3T agar implementasi pemilihan kepala daerah di wilayah tersebut dapat berjalan lebih baik. Masalah yang muncul selama pemilihan kepala daerah di daerah 3T seringkali terkait dengan lokasi geografis daerah 3T yang memang sulit dijangkau; infrastruktur yang terbatas; transportasi yang tidak memadai; dan sumber daya manusia yang terbatas, antara lain.
Aksesibilitas informasi dan teknologi telekomunikasi yang terbatas dan tidak memadai adalah masalah serius yang dapat mengganggu kelancaran pemilihan kepala daerah. Selain itu, distribusi logistik seringkali terhambat oleh kondisi geografis yang sulit, moda transportasi yang terbatas, serta faktor-faktor yang terkait dengan alam dan cuaca.
Di daerah seperti itu, pemilih juga sering menghadapi kesulitan dalam mencapai tempat pemungutan suara. Sementara itu, dalam hal sumber daya manusia, daerah 3T menghadapi masalah terkait dengan jumlah petugas pemungutan suara dan pengawas yang terbatas. Ada juga masalah terkait dengan kurangnya pengetahuan dan pemahaman tugas di antara petugas.
Pengembangan data pemilih yang akurat memerlukan perhatian serius. Kemungkinan banyak orang yang masih terlewatkan saat pencocokan data dan penyelidikan pemilih calon dilakukan. Kemungkinan juga banyak orang yang tidak memiliki kartu identitas meskipun memiliki hak pilih. Hal ini dapat terjadi karena ketersediaan teknologi informasi dan telekomunikasi yang minim dan kurangnya kesadaran politik di kalangan penduduk.
Mengatasi tantangan terkait dengan implementasi pemilihan di daerah 3T menuntut sinergi dan komitmen antara para pemangku kepentingan, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pemerintah pusat, pemerintah daerah, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan masyarakat.
Dengan demikian, masyarakat demokratis yang lebih maju dapat diciptakan. Pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab untuk mengatasi hambatan terkait kondisi geografis, infrastruktur, ketersediaan moda transportasi yang memadai, dan aksesibilitas teknologi informasi dan komunikasi.
Komisioner KPU Yulianto Sudrajat menegaskan bahwa partisipasi masyarakat dan semua pemangku kepentingan adalah kunci keberhasilan implementasi pemilihan. Mengorganisir Pemilihan Kepala Daerah di daerah 3T tahun ini akan menantang. Oleh karena itu, memaksimalkan peran dan keterlibatan masyarakat pada setiap tahap pemilihan sangat penting.
Upaya yang dilakukan KPU untuk meningkatkan partisipasi pemilih meliputi penyuluhan informasi di sekolah, universitas, dan pesantren, serta melibatkan organisasi masyarakat dalam pendidikan pemilih. Dengan partisipasi masyarakat yang lebih tinggi dalam pemilihan kepala daerah, diharapkan kualitas demokrasi di negara ini juga akan meningkat.
Berita terkait: Pendidikan yang baik, kesehatan bentuk demokrasi sejati: Presiden Berita terkait: Partai politik yang kuat diperlukan untuk menjaga budaya demokrasi: MPR
Hak cipta © ANTARA 2024