Alasan Muhammadiyah Memperbolehkan Non-Muslim Mengajar di Perguruanannya

loading…

Sekolah Muhammadiyah tidak hanya bertujuan memberikan pendidikan akademik tetapi juga menjadi sarana dakwah yang menyeluruh. Foto/Ilustrasi: PP Muhammadiyah

Muhammadiyah sejak awal dikenal terbuka dalam memberikan akses pendidikan bagi seluruh kalangan, termasuk non-Muslim. Seiring waktu, manfaat lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi , semakin dirasakan oleh masyarakat luas, baik di Indonesia maupun mancanegara.

\”Di Indonesia sendiri, tak sedikit lembaga pendidikan Muhammadiyah di wilayah mayoritas non-Muslim yang membuka pintu bagi siswa dan mahasiswa non-Muslim,\” demikian laman resmi Pimpinan Pusat Muhammadiyah memberitakan.

Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) di Papua, Papua Barat , dan Nusa Tenggara Timur , misalnya, memiliki jumlah mahasiswa non-Muslim yang dominan, bahkan mencapai lebih dari 70%.

Kepercayaan masyarakat non-Muslim terhadap pendidikan Muhammadiyah ini semakin menguat, tak hanya bagi siswa, tetapi juga tenaga pendidik, karyawan, dan staf lain di lingkungan sekolah maupun kampus.

Namun, bagaimana jika non-Muslim ingin mengajar di sekolah Muhammadiyah tanpa mengenakan atribut Islami seperti busana muslimah?

Di beberapa PTM, kehadiran dosen non-Muslim bukanlah hal baru. Mereka hadir sebagai tenaga pengajar, pemateri seminar, atau narasumber pada lokakarya akademik tanpa diwajibkan mengenakan busana Islami.

Keberadaan guru umum non-Muslim di sekolah Muhammadiyah pun sudah menjadi bagian dari dinamika pendidikan.

Dalam Islam, interaksi muamalah dengan non-Muslim di luar konteks ibadah dan akidah diperbolehkan selama dapat memberikan manfaat bersama.

Rasulullah SAW sendiri memiliki sejarah muamalah dengan non-Muslim, seperti dalam urusan jual beli dan kerja sama.

Sebuah hadis riwayat Aisyah RA mengisahkan bahwa Rasulullah pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjaminkan baju besi beliau.

Ini menunjukkan bahwa hubungan sosial dan kerja sama dengan non-Muslim diperkenankan selama tidak melanggar prinsip-prinsip agama.

MEMBACA  Pesan Anwar Abbas untuk Anggota DPR Baru: Jangan Hanya Memikirkan Modal Kembali

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ اِشْتَرَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُوْدِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ

“Dari ‘Aisyah r.a. (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan menggadaikan (menjaminkan) baju besi beliau.” [HR al-Bukhari dan Muslim].

Al-Qur’an juga menegaskan tentang toleransi terhadap non-Muslim yang tidak memusuhi umat Islam. Dalam Surah Al-Mumtahanah ayat 8, Allah SWT berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْآ إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” [ Q.S. al-Mumtahanah (60) : 8].

Prinsip ini menekankan bahwa hubungan baik dengan non-Muslim selama untuk kemaslahatan bersama adalah hal yang diperbolehkan.

Dengan demikian, dari segi muamalah, tidak ada larangan bagi non-Muslim untuk mengajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Namun, beberapa hal tetap perlu diperhatikan demi menjaga identitas dan misi dakwah lembaga pendidikan Muhammadiyah:

1. Aturan Pakaian: Guru non-Muslim, khususnya wanita, hendaknya berpakaian sopan dan tertutup meskipun tidak diwajibkan berjilbab. Aturan ini bisa disampaikan sejak awal agar kedua belah pihak merasa nyaman.

2. Identitas Keagamaan: Penggunaan atribut keagamaan seperti kalung salib atau simbol-simbol non-Islam lainnya sebaiknya dibatasi untuk menjaga kenyamanan dan citra lembaga sebagai bagian dari pendidikan Islam.