Mengapa Penting Menggunakan Takwil dan Metafora

Ada sementara orang menggunakan pentawilan semata-mata berdasarkan penalaran tanpa mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan. Ilustrasi: SINDOnews
PADA masa al-salaf al-awwal, ulama-ulama enggan menggunakan takwil atau memberi arti metaforis bagi teks-teks keagamaan. Imam Malik (w. 795 M), misalnya, enggan membenarkan seseorang berkata “langit menurunkan hujan.”
Harus diyakini bahwa sesungguhnya yang menurunkannya adalah Allah SWT.
“Keengganan menggunakan takwil ini menjadikan sementara ulama salaf menduga bahwa batu adalah makhluk hidup yang berakal, berdasarkan firman Allah dalam QS 2:74. Juga ada yang menduga bahwa Allah mengutus Nabi-nabi kepada lebah berdasarkan QS 16:68,” tulis Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya berjudul “Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat” (Mizan, 1996).
Setelah masa al-salaf al-awwal, keadaan telah berubah. Hampir seluruh ulama telah mengakui perlunya takwil dalam berbagai bentuknya.
Al-Sayuthi; misalnya, menilai majaz sebagai salah satu bentuk keindahan bahasa. Namun, walaupun mereka telah sepakat menerimanya, perbedaan pendapat timbul dalam menetapkan syarat-syarat bagi penggunaannya.
Kini, sementara orang yang menganggap dirinya sebagai pembaru dalam bidang tafsir, menggunakan pentawilan semata-mata berdasarkan penalaran tanpa mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan.
Dr Mustafa Mahmud, misalnya, men-tawil-kan larangan Tuhan kepada Adam dan Hawa “mendekati pohon” sebagai larangan melakukan hubungan seksual. “Walaupun salah satu argumentasinya adalah argumentasi kebahasaan, namun penafsiran ini sangat menggelikan pakar bahasa,” ujar Quraish.
Menurut Mustafa, redaksi firman Allah sebelum mereka mendekati pohon adalah dalam bentuk mutsanna (dual), yakni jangan kamu berdua mendekati pohon ini (QS 2:35). Tetapi, setelah mereka memakannya (dalam arti melakukan hubungan seksual), redaksi berikutnya berbentuk jamak, yakni Turunlah kamu semua dari surga … Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian lainnya (QS 2:36).
Hal ini, menurutnya, adalah bahwa tadinya Adam dan Hawa hanya berdua, tetapi setelah istrinya mengandung janin maka mereka menjadi bertiga sehingga wajar bila redaksi beralih menjadi bentuk jamak.
Menurut Quraish, apa yang dikemukakan ini jelas bertentangan dengan teks ayat dan bertentangan pula dengan kaidah kebahasaan. Karena, bahasa tidak menjadikan janin yang dikandung sebagai wujud penuh, tetapi mengikut kepada ibu yang mengandungnya dan karenanya walaupun seorang ibu mengandung –berapa pun bayi yang dikandungnya– ia tetap dianggap sebagai wujud tunggal.
Contoh di atas membuktikan kekeliruan pen-ta’wil-an yang dilakukan semata-mata dengan menggunakan nalar tanpa pertimbangan kaidah kebahasaan.
(mhy)

MEMBACA  137.342 Jemaah Haji Indonesia telah Pulang ke Tanah Air